PERBEDAAN-PERBEDAAN ANTARA “AT-TANATHTHU'” DAN “TARKU SYUBHAT”

Bagian Kedua

Oleh: Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz

PERBEDAAN-PERBEDAAN ANTARA “AT-TANATHTHU'” DAN “TARKU SYUBHAT”

Perbedaan antara at-Tanathu’ yang ada dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Celakalah al-Mutahathi’un.”( Muslim no. 2670) dan “ijtanibu syubhat” dalam sabdanya, “Maka barangsiapa yang menjauhi syubhat, berarti ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya.” (Bukhari no. 52, Muslim no. 1599 dari hadits Nu’man bin Basyir RA)

Syeikh Ibnu Jibrin berkata (Majmu Fatawa Syaikh ibnu Jibrin, al-‘Akidah juz kedua.) tentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Celakalah al-Mutanathi’un.” Ibnu Jibrin menafsirkan bahwa at-Tanathu’ adalah berlebihan dan sikap keras, baik dalam perkataan atau perbuatan, sesungguhnya berlebihan dan sikap keras tersebut merupakan jalan menuju kehancuran atau mendekatinya, tetapi hal tersebut tidak akan jelas kecuali dengan contoh.

Contohnya dalam masalah wudhu. Sebagian orang bersikap keras atau berlebihan, ia mengulanginya berkali-kali dalam membasuh anggota wudhu dan berkeyakinan bahwasanya anggota wudhu tersebut tidak akan suci kecuali dengan mengulanginya berkali-kali dan ini termasuk kategori at-Tanathu’. Begitu pula dalam masalah mandi dan menghilangkan najis, kamu akan mendapati sikap keras atau berlebihan, dan tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut merupakan kehancuran.

Adapun hal tersebut dikatakan kehancuran, karena sesungguhnya hal itu merupakan jalan yang menuju kepada sikap mempersulit diri atau meremehkan pekerjaan orang lain. Yang mana ia mengira bahwa pekerjaan orang lain tersebut adalah batal bahkan para Rasul dan sahabat pun menurut penilaiannya adalah orang yang melakukan kekurangan karena lalai tidak melakukan seperti apa yang ia lakukan.

Demikian pula contoh dari at-Tanathu’ adalah sikap keras atau berlebihan dalam mengeluarkan huruf, yang mana ia mengira bahwasannya ia tidak mengeluarkan huruf tersebut apabila ia berbicara. Sehingga disebutkan bahwa sebagian dari mereka apabila ia hendak mengucapkan huruf “dhod” maka ia berlebihan, sehingga ia mengeluarkan air ludahnya disebabkan sangat berlebihan dalam mengeluarkan huruf tersebut. Ia telah mempersulit dirinya sendiri, dan terkadang mempersulit dirinya dalam mengucapkan sebagian huruf yang mati (sukun) dalam takbiratul ihram dengan mengulang-ulang huruf “kaf” pada kalimat “Allahu Akbar” sebanyak tiga kali, dan ini termasuk dalam kategori at-tanathu’ al-madzmun (tercela). Dan “al-Mutanathi’un” terkadang mengulang-ulang fatihah sehingga imam ruku’ sebelum ia menyelesaikannya (fatihah). Maka berdasarkan contoh-contoh tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa at-tanathu’ adalah sikap keras atau berlebihan dalam urusan yang disyari’atkan sehingga mengeluarkannya dari yang seharusnya, dan mengakibatkan amalannya menjadi batal. Inilah standar atau ukuran untuk at-tanathu’.

Adapun tarku syubhat (meninggalkan syubhat) yang disebut-kan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haditsnya,

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ

“Barangsiapa yang meninggalkan syubhat, maka ia telah meyelamatkan agama dan harga dirinya.” (Bukhari no. 52, Muslim no. 1599 dari hadits Nu’man bin Basyir RA) Dalam ungkapan tersebut tidak ada makna al-tanathu sedikit pun, melainkan tarku syubhat ini adalah sikap hati-hati terhadap sesuatu karena ditakutkan sesuatu tersebut tergolong kepada yang haram, kemudian menjauhkan diri darinya karena takut itu akan menjerumuskannya pada keharaman. Diriwayatkan dari sebagian kaum salaf sebagaimana yang disebutkan Ibnu Rajab dalam penjelasan hadits ini dari kitab “Jami’ul Ulum Wal Hikam” bahwasanya ia berkata, “Seorang manusia tidak akan bisa selamat se-hingga ia meninggalkan sesuatu yang mengandung syubhat (keraguan), atau melakukan sesuatu yang bukan haram namun di takutkan sesuatu tersebut diharamkan, atau sebagaimana yang dikatakannya.” Ini berkaitan dengan sesuatu yang diragukan.”

Contohnya, anda mengetahui bahwa mu’amalah ini digunakan oleh sebagian orang, tetapi anda tidak memiliki dalil yang kuat untuk membolehkannya, dan anda takut mu’amalah tersebut termasuk dalam sesuatu yang dilarang. Maka anda harus meninggalkannya sehingga anda selamat dari yang diharamkan.

Adapun jika anda meninggalkan yang syubhat secara keseluruhan, maka dengan yakin anda telah meninggalkan yang haram. Jika anda melakukan yang syubhat, maka boleh jadi di dalamnya terdapat keraguan. Sesuatu yang syubhat (meragukan) terkadang membawa seseorang kepada yang bukan syubhat, bahkan membawanya kepada keharaman yang nyata. Inilah makna yang ditunjukkan oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

“Barangsiapa yang meninggalkan syubhat maka ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya, dan barangsiapa yang terjerumus pada syubhat berarti ia terjerumus pada yang haram.” (Muslim no. 1599 dari hadits Nu’man bin Basyir RA.)

SIKAP-SIKAP DALAM MENGHADAPI SEBAGIAN MANUSIA YANG BERLEBIH-LEBIHAN

(Kitab “Min Akhbaril Muntakisin,” karya Shalih al-Ashimi, hal 118-120. )

Berdasarkan dalil-dalil dan nash-nash ini jelaslah bagi kita akan kemudahan agama Islam dan kerelaannya terhadap kemampuan individu. Tetapi sebagian orang ada yang tidak puas terhadap nash-nash ini dengan keyakinan bahwasanya ia bukanlah yang dimaksud oleh nash-nash tersebut, dan bahwasanya yang dimaksudkan oleh nash-nash tersebut adalah kelompok lainnya.

Maka bagi seorang muslim jika mau konsisten, hendaklah tidak membebani dirinya dengan sesuatu di luar kemampuannya baik dalam melakukan shalat malam dan berpuasa. Hingga tidak terjadi dampak yang negatif yaitu meninggalkan konsistensi, dikarenakan ketika ia merasa tidak mampu untuk melakukan apa yang dibebankan pada dirinya niscaya ia akan berpendapat atau menyimpulkan bahwasannya metoda atau cara tersebut tidak cocok bagi dirinya. Seharusnya ia bertahap dalam mendidik dirinya untuk melakukan hal-hal yang sunnat dan hendaklah ia memberikan hak dirinya, untuk mendekatkan pemahaman, Saya akan kemukakan contoh-contoh:

Ada seorang pemuda yang bersumpah untuk menghafal al-Qur’an pada liburan musim panas dan ia mengharamkan dirinya dari banyak hal. Kemudian, ia tidak mampu melakukan hal tersebut, tetapi ia terus melakukannya sehingga dengan sebab itu keadaan pun menjadi berubah, akhirnya tindakan pemuda tersebut telah mengakibatkannya harus masuk (dirawat) pada Rumah Sakit yang menangani penyakit syaraf. ( Kitab “Al-Mutasaqithun ‘ala Thariqi ad-Da’wah” karya Fathi Yakan. )

Ada pula seorang pemuda lain yang berambisi untuk menghafal al-Qur’an pada hitungan bulan yang sedikit, kemudian saya katakan kepadanya bahwa hal itu akan menyusahkan dirinya, tetapi ia menolaknya. Ketika beberapa bulan yang sudah ditetapkan itu berakhir, ternyata ia terkena depresi. Selanjutnya ia rela dengan sikap sederhana dan sekarang ia mulai menghafalkan al-Qur’an apabila ia melihat pada sesuatu dengan pertimbangan akalnya. Kita memohon pada Allah semoga memberikannya pertolongan. Sebagian orang terkadang mengatakan bahwasannya ada orang yang mampu menghafal al-Qur’an dalam waktu beberapa bulan atau dalam tempo waktu yang tidak lama, maka saya katakan bahwa ini adalah hal yang jarang dan sedikit, tidak setiap orang mampu melakukanya, bahkan mayoritas orang tidak mampu untuk melakukan hal tersebut.

Saya katakan bahwa ada seorang pemuda yang memiliki keinginan kuat untuk shalat malam, kemudian ia memulai dari hari pertama dan pada setiap rokaat ia membaca (ayat al-Qur’an) satu juz. Kemudian, dirinya menghendaki tambahan maka ia pun mulai menambahnya sehingga ia menjadi tidak mampu melakukan hal itu. Akhirnya, ia pun meninggalkan shalat malam secara total.

Salah seorang tokoh berkata kepada saya (penulis), bahwa ada seorang pemuda, ia memberikan atau menyampaikan materi tentang shalat malam. Maka dengan sebab itu ia bersemangat kemudian bangun pada malam harinya dan melakukan shalat malam sebanyak 70 rakaat. Ia memaksa dirinya untuk melakukan shalat malam tersebut, dan akhirnya ia tertidur sebelum shalat shubuh dan dirinya tidak merasakan apa-apa kecuali bahwa jarum jam telah menunjukkan pada jam 11.00 pagi. Maka ia pun telah mangakhirkan shalat (shubuh) dari waktunya disebabkan tidak adanya keseimbangan.

Janganlah seseorang mengira bahwa saya mencela orang yang bersemangat untuk beribadah. Semangat untuk beribadah merupakan sesuatu yang terpuji, tetapi hendaklah orang tersebut mampu bertindak seimbang dan mengetahui kekuatannya. Barangsiapa yang menempuh suatu jalan hendaklah ia meneruskannya (perjalanannya) pada jalan tersebut. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk pada salah seorang sahabat, beliau bersabda,

لاَ تَكُنْ كَفُلاَنٍ كَانَ يَقُوْمُ اللَّيْلَ فَتَرَكَهُ

“Janganlah kamu seperti si fulan, ia melakukan bangun malam kemudian meninggalkannya.” (Bukhari no 1152, Muslim no 185, dari hadits Abdullah bin ‘Amru RA.) Karena meninggalkan ibadah setelah memulainya adalah tindakan yang tercela, dan terkadang menimbulkan dampak negatif pada diri pelakunya.

Sesungguhnya orang-orang yang membebani dirinya dengan sesuatu yang mereka tidak mampu (melakukan) dan mereka tidak mau bersikap sederhana (pertengahan) pada sesuatu dan bahkan mereka tetap melakukannya secara berlebih-lebihan. Maka mereka akan ditimpa kesulitan atau yang lainnya, karena terjadinya peru-bahan negatif pada diri dan keinginannya. Mereka itu bagaikan orang yang ingin menyeberangi padang pasir yang panjang dengan cepat, kemudian kendaraannya hancur dan ia tidak dapat sampai ke tujuan.

Contoh lainnya dari al-ghuluw adalah mengkafirkan. Aku akan menyebutkan sebuah kisah tentang seseorang yang mengkafirkan saudaranya dengan sebab saudaranya tidak melakukan shalat shubuh, kecuali setelah waktunya habis tanpa mengetahui sebab-sebab yang menghalangi saudaranya tersebut untuk melakukan shalat Subuh pada waktunya. ( Al-Mutasakitun, karya Fathi Yakan.)

Mungkin saja yang menghalangi dia [dari mengerjakan shalat tepat waktu] adalah termasuk sesuatu yang dimaafkan oleh Allah. Tetapi orang ini (yang mengkafirkan) tetap pada sikapnya dan tidak rela dengan kesalahan saudaranya, sesungguhnya kecerobohannya dalam menggeneralisasi hukum (terhadap saudaranya) bertentangan dengan konsep dasar agama. Ia masih tetap pada pendiriannya sehingga mendapatkan dirinya telah keluar dari koredor keimanan, dan ia memulai perjalanan ini dengan mencukur jenggot, kemudian mencintai para pezina, dan dengan tindakan tersebut jalan pun berakhir dengan kekufuran. Kita senantiasa memohon kepada Allah untuk tetap dalam kebenaran.

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwasannya membebani diri dengan sesuatu di luar kemampuan dampak minimalnya adalah meninggalkan ‘amal. Al-Bazar telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abas ia berkata, “Seorang hamba sahaya yang dimerdekaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia melakukan puasa di siang hari dan bangun pada malam harinya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شَرَّةْ, وَلِكُلِّ شِرَّةْ فَتْرَةٌ, فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلىَ سُنَّتِيْ فَقَدِ اهْتَدَى, وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلىَ غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ ضَلَّ

“Sesungguhnya bagi setiap pekerjaan ada masa semangat, dan bagi setiap kesemangatan ada masa lelah. Maka barangsiapa yang rasa lelahnya menuju sunnahku berarti ia telah mendapatkan petunjuk, dan barangsiapa yang lelahnya itu menuju kepada selain sunnahku berarti ia telah tersesat.” (Imam Haitsami berkata dalam kitab “Majma Zawaid” juz 2 hal 261,262 diriwayatkan oleh Bazzar dan orang-orangnya saleh (tidak cacat) dan untuk hadits ini banyak riwayat dan lafadz. Diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam hadits Turmudzi no. 2453. Imam Turmudzi berkata bahwa hadits ini dari sisi periwayatannya gharib, tetapi telah dianggap shahih oleh Imam al-Bani dalam kitab “Shahibul Jami’ no. 2151”, dan diriwayatkan dari Abdillah bin ‘Amru bin ‘Ash dalam hadits Imam Ahmad juz 2 hal 158. Ahmad Syakir berkata (no. 6477) bahwa sanadnya shahih. Dan selainnya dari berbagai jalan.)

Maka keseimbangan merupakan sesuatu keharusan dari menghalangi diri untuk beristirahat yang akan mengakibatkan lemah dan bosan. Maka seorang Muslim harus hidup dalam kondisi seimbang atau pertengahan, tidak berlebihan, dan tidak meremehkan. Ia harus mengetahui bahwa kemampuannya dirinya terbatas. Jika ia melampauinya, niscaya ia akan ditimpa malas dan lemah yang secara umum keduanya merupakan awal dari penyimpangan. Diambil dari kitab “Akhbarul Muntasikin.”

Dan sebagai penutup, “Wahai saudaraku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu,

فَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا, وَ لِزُوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا, وَ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

‘Sesungguhnya istri kamu mempunyai hak, tamu yang datang juga mempunyai hak atasmu, dan badan kamu juga mempunyai hak atasmu’.” (Bukhari no. 1976, 3418, dan Muslim no. 1159) Dalam riwayat lain disebutkan,

وَإِنَّ لِوَلَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

“Sesungguhnya anak kamu mempunyai hak atas mu.” (Muslim no. 1159 hal 186) Dalam riwayat lain di sebutkan

فَإِنَّ لِعَيْنِكَ حَظًّا, وَ لِنَفْسِكَ حَظًّا, وَ لِأَهْلِكَ حَظًّا

“Sesungguhnya matamu memiliki bagian, jiwamu memiliki bagian, dan keluargamu memiliki bagian” (Muslim no. 1159 hal 186) Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abi Jahaifah radhiallahu ‘anhu, beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda,

إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا, وَ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا, وَ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا, فَأَعْطِ كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ

“Sesungguhnya bagi Tuhanmu ada hak atasmu, bagi dirimu ada hak atasmu, dan bagi keluargamu ada hak juga atasmu maka berikanlah kepada setiap yang memiliki hak itu haknya.” (Bukhari no. 2968.)

Berdasarkan hadits-hadits tersebut, maka wahai saudaraku, anda harus seimbang dalam setiap bidang atau masalah dari masalah-masalah kehidupan. Anda jangan berlebihan dalam satu masalah atau dalam satu sisi dengan mengorbankan sisi yang lainnya. Anda dituntut untuk memberikan istirahat pada badan sehingga anda mampu meneruskan perjalanan dalam melaksanakan kewajiban yang dituntut dari anda, baik dalam masalah agama ataupun dalam masalah dunia. Anda dituntut untuk melakukan kewajiban agama seperti shalat, haji, puasa dan dakwah (menyeru) kepada Allah berdasarkan atas dalil sesuai dengan kemampuan.

Begitu pula anda dituntut untuk melakukan kewajiban terhadap keluarga, anak, tamu, tetangga, pekerjaan yang ditugaskan, dan anda dituntut pula untuk mengarungi hidup dan mencari rezeki sehingga anda dan orang-orang yang ada di bawah tanggung jawab anda tidak menjadi beban bagi orang lain (meminta-minta). Maka berikanlah setiap yang memiliki hak itu haknya dengan tidak berlebihan, tidak bersikap keras, tidak mengurangi, tidak memaksakan diri, juga tidak meremehkan.

Maka demi Allah wahai saudaraku, dalam keseimbangan dan keadilan, serta menjauhkan diri dari tindakan berlebihan dengan segala makna dan pemahamannya, agama dan dunia anda akan selamat. Anda tidak akan celaka sebagaimana celakanya orang-orang yang terjerumus pada berbagai jenis berlebih-lebihan, kekerasan, menggampangkan, dan meremehkan syari’at Allah Ta’ala. Terbukti bah-wa pada akhirnya mereka meninggalkan amal, atau jauh dari agama, atau bisa juga terjerumus pada sesuatu yang dimurkai Allah Ta’ala, dan mereka terlibat dalam sebagian fitnah dan kerusakan, seperti peledakan bom, pembunuhan, penculikan, penentangan terhadap penguasa, kudeta militer dan kepartaian yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Begitulah keterperosokan mereka pada sebagian fenomena FENOMENA AL-GHULUW DAN AT-TATHARRUF DALAM REALITA KEHIDUPAN KITA YANG MENYEDIHKAN yang buruk seperti demonstrasi, baik dengan damai ataupun kekerasan, mogok bicara, mogok kerja, keluar dari kelompok, kekerasan dalam dakwah, meninggalkan jama’ah, dan yang lainnya berupa fitnah-fitnah zaman dan fenomena-fenomena kekerasan, yang mana sebagian generasi muda kaum Muslimin sekarang terperosok ke dalamnya. Hal ini nantinya akan membawa umat pada kecelakaan, kerugian, kehancuran, perpecahan dan kehinaan. Allah Ta’ala mengetahui dengannya dan Allah tempat memohon pertolongan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.

FENOMENA AL-GHULUW DAN AT-TATHARRUF DALAM REALITA KEHIDUPAN KITA YANG MENYEDIHKAN

PENDAHULUAN

Para ulama dan cendikiawan dari kalangan pemikir umat, mereka telah memperingatkan kepada kita tentang bahaya memisahkan diri (keluar) dari barisan (jama’ah). Seekor srigala tidak akan memangsa domba, kecuali domba yang menyendiri (terpisah dari kelompoknya). Asal muasalnya keluar serta perpecahan umat adalah membuat dasar-dasar keberagaman baru dan konsisten dalam kepartaian. ( Fitnatu Takfir wa Hizbiyah, dari koran al-Muslimun edisi 586. )

Sesungguhnya pendidikan terhadap para pemuda harus didasarkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, dan dengan pemahaman ulama-ulama dahulu yang shalih (salafus shalih) dari kalangan umat ini. Maka apabila para pemuda dididik berdasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah, niscaya mereka akan terlahir sebagai generasi yang mengetahui agamanya dengan dasar yang benar, bukan berdasarkan pada prinsip-prinsip kepartaian yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah yang melahirkan para pemuda yang menyimpang dalam akidahnya, lemah dalam ilmunya, yang tidak mengenal kecuali senjata dan pengkafiran terhadap orang lain, revolusi, penculikan, pendudukan, pemogokan dan demonstrasi (unjuk rasa) .

Sesungguhnya tindakan tidak menghukumi dengan apa yang telah diturunkan Allah (al-Qur’an), kezaliman yang terjadi dari mayoritas penguasa yang ada pada kebanyakkan negara Muslim, dan tersebar luasnya kemaksiatan baik di timur ataupun di barat, tidak diragukan lagi bahwasanya hal tersebut merupakan sebab utama munculnya kekerasan pada kebanyakan orang-orang yang semangat dalam agama Islam, tetapi semangat ini harus diperkuat oleh syari’at al-Qur’an dan as-Sunnah, serta pemahaman para salafus shalih radhiallahu ‘anhum.

Sesungguhnya keluar atau berpaling dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta pemahaman salafus shalih merupakan titik utama penyimpangan dari yang haq, penggelinciran yang berbahaya dan merupakan jalan atau arah menuju kepada suatu jurang yang tidak pernah mendatangkan kebaikan, justru akan mendatangkan kerugian serta kecelakaan bagi umat. Hal tersebut di atas akan mengakibatkan pada kekacauan dan terhentinya dakwah kepada Allah Ta’ala, serta yang lainnya berupa fitnah-fitnah kerusakan dan kemudharatan.

Dalam hal ini saya akan berusaha dengan segala kemampuan untuk menjelaskan fitnah-fitnah, kerusakan dan kemudharatan yang muncul dikarenakan berpaling dari jalan yang benar dan mengamalkan jalan yang rusak, serta pemikiran-pemikiran yang berdampak pada perpecahan, kehinaan, kekalahan dan terkuasainya umat Islam oleh musuh-musuh mereka, dan hanya Allahlah tempat memohon pertolongan.

PERTAMA : PENOMENA PENGKAFIRAN

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Umat radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya (yang muslim). ‘Hai kafir!’ maka salah satunya dinyatakan kafir.” (Dikeluarkan Bukhari no. 6103, 6104 dan Muslim no. 158) Imam Bukhari meriwayatkan juga dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَرْمِيْ رَجُلٌ رَجُلاً بِفُسُوْقٍ وَ لاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ , إِلاَّ اِرْتَدَّتْ عَلَيْهِ , إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ

“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan dan pengkafiran, kecuali kata-kata tersebut (tuduhan tersebut) kembali kepadanya apabila temanya (yang dituduh) itu tidak terbukti demikian.” (Dikeluarkan Bukhari no. 6045.)

Hadits-hadits ini dan juga yang lainnya masih banyak, memperingatkan untuk tidak mengkafirkan atau melontarkan kata “Kafir” terhadap orang muslim secara lepas. Dikarenakan tidak dibolehkan mengkafirkan orang Muslim, kecuali apabila orang Muslim tersebut terjerumus pada sesuatu yang menjadikannya kafir. Karena orang yang telah memasuki Islam dengan yakin tidak boleh dikatakan fasik atau kafir, atau dikatakan keluar dari agama Islam kecuali ada bukti yang menuntutnya untuk dikatakan fasik atau kafir.

Sesungguhnya kita berada pada zaman yang di dalamnya banyak ungkapan-ungkapan mengkafirkan seorang Muslim, menisbatkan laknat Allah kepadanya, menyatakan orang Muslim tersebut kekal di dalam neraka. Karena itu, kita harus merujuk atau melihat kepada kalimat yang haq. Kita harus memposisikan manusia pada posisinya masing-masing yang telah diposisikan oleh syari’at. Kita tidak membenarkan penghinaan terhadap urusan agama, dan kita tidak berlebihan dalam hukum-hukum dengan berlebihan yang bisa menjauhkan kita dari kebenaran. Kita tidak mendidik orang-orang yang menganggap sepele atau menganggap remeh (dalam urusan agama), dan tidak mendorong seseorang untuk putus harapan atau putus asa. Juga, kita berpartisipasi dalam membangun manusia yang tidak melihat orang lain kecuali dengan pandangan bahwa orang-orang tersebut kafir, terlaknat atau buron, dan kita juga tidak menumbuhkan pada seseorang suatu gambaran yang dengannya akan melihat semua manusia itu salih, dan urusan mereka diserahkan kepada Tuhannya. ( Ahkaamu ‘Ushat al-Mukminin karya Ibnu Taimiyah ditulis ulang oleh Marwan Kajakistan hal 7. )

Sesungguhnya pengkafiran terhadap seorang Muslim harus berdasarkan pada batasan-batasan syari’at, pemahaman, dan kehatihatian. Hal tersebut tidak dapat dilakukan kecuali oleh para ulama yang kuat ilmunya dan para hakim syari’at. Merekalah yang menghukumi atas seseorang bahwa ia adalah kafir dikarenakan pengetahuan mereka atas dalil-dalil syari’at, syarat-syarat, serta penghalang-penghalang untuk permasalahan ini. Tidak boleh mengkafirkan seorang Muslim hanya karena ia melakukan kesalahan atau kemaksiatan, walaupun kemaksiatan tersebut termasuk kategori dosa besar selama tidak menghalalkannya (kemaksiatan tersebut), maka apabila mengahalalkan kemaksiatan tersebut sesungguhnya ia dihukumi kafir. Apabila seseorang berbuat zina, mencuri, atau minum arak janganlah dikatakan bahwa ia kafir, melainkan katakanlah bahwa ia bermaksiat atau fasiq. Tetapi apabila orang tersebut mengatakan bahwasanya arak, zina, mencuri, atau yang lainnya itu adalah halal dan tidak diharamkan Allah Ta’ala, kemudian ia menentang terhadap pengharaman Allah Ta’ala untuk kemaksiatan tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwasanya ia kafir dengan kekufuran yang besar, dan ia dikeluarkan dari agama Islam.

Sesungguhnya masalah pengkafiran merupakan problem utama yang menimpa kaum muda sekarang, dikarenakan penglihatan yang tidak jelas dan penilaian yang tidak selamat atau bersih dari cacat. Di sini kita harus menempatkan permasalahan pada pangkalnya dan kejelasannya yang sempurna di hadapan para pencari hakikat. (Maqalat Islamiyin juz 1 hal 167,168)

Karena itu, para ulama baik dahulu ataupun sekarang selalu terjun dalam permasalahan ini untuk menerangkan dan menjelaskan syarat-syarat serta penghalang-penghalangnya. Diantara ulama kontemporer yang banyak menyinggung permasalahan ini dalam pelajaran-pelajarannya, pertemuan-pertemuan dan fatwa-fatwanya adalah seorang ulama ahli hadits, Muhamad Nashirudin al-Bani. Beliau telah mengungkapkan kata-kata yang lurus sebagai jawaban atas pertanyanaan-pertanyan seputar masalah pengkafiran. Dalam perkataannya tersebut beliau telah menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan (dalam masalah pengkafiran), dan dalam perkataannya pula beliau menempuh jalan orang-orang yang beriman.

Perkataan beliau ini telah dipublikasikan dalam berbagai majalah dan surat kabar. Karena pentingnya perkataan beliau ini, Syekh Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Baz telah memujinya, sebagaimana Syekh Muhamad bin Sholeh al-Ustaimin juga telah memberikan komentar terhadap ucapannya, dalam salah satu pelajaranya pada sebuah mesjid besar yang ada di kota Unaizah di kawasan al-Qashim.

Dikarenakan pentingnya permasalahan ini, juga termasuk dari fenomena-fenomena al-ghuluw (berlebihan) dan at-tatharruf (ekstrim), maka di sini saya akan mengedepankan perkataan al-alBani dikarenakan pentingnya, setelah saya memperhatikannya dengan menerangkan hadits-haditsnya, dan menetapkan komentar Ibnu Utsaimin juga pujian yang mulia Ibnul Baz terhadap beliau. Allah-lah tempat memohon pertolongan dalam mencapai maksud atau tujuan.

Pos ini dipublikasikan di Salah Kaprah dalam Memperjuangkan Islam. Tandai permalink.